Unlearning & Listening, Skill Esensial Abad 21

Andiar Rasheed

13 February 2025

“Kalau sekarang, mohon maaf, hati-hati dengan jargon.”

Yulia Sugandi

Dalam hal ini, jargon yang dimaksud oleh Yulia Sugandi, seorang antropolog dan sosiolog, adalah berbagai jargon seperti “kearifan lokal” yang kerap muncul dari para pembuat kebijakan ketika berbicara mengenai kebijakan yang mereka rumuskan.

Yulia, yang telah memiliki pengalaman lebih dari 20 tahun bekerja sebagai pendidik dan peneliti independen untuk mendorong keadilan sosial-ekologi, kesetaraan gender, dan pembangunan yang inklusif, menganggap bahwa jargon “kearifan lokal” sering menciptakan sebuah ilusi bahwa kebijakan-kebijakan yang dirumuskan telah melibatkan secara penuh para penerima kebijakan, dilakukan secara “bottom-up”, dan menempatkan para penerima kebijakan sebagai subyek. Padahal yang umumnya terjadi adalah, berbagai kearifan lokal ini sebatas diambil sebagai data dan kemudian dijadikan sebuah “checklist” yang dianggap jika sudah terpenuhi maka telah mewakili secara sepenuhnya suara para penerima kebijakan, sementara keputusan akhir tetap sepenuhnya berada di tangan para pembuat kebijakan. “Diambil sajabegitu. Terus kita yang nyampur-nyampur nihYang punya pengetahuannya sudah enggak tahu. Ditinggal. Enggakikut lagi dalam proses berikutnya” Ucap Yulia.

Perumusan kebijakan-kebijakan seperti itu—yang menjadi bagian dari sebuah sistem (dalam hal ini pemerintahan)‚kerap membuatnya melenceng dari target yang ingin dicapai, atau bahkan, targetnya sendiri menjadi yang tidak relevan dengan permasalahan yang dihadapi.

Menurut Yulia, para penerima kebijakan harusnya dapat terus ikut berpartisipasi dalam merumuskan kebijakan. “Bukan kehadirannya secara fisik saja yang harus diakomodasi, tetapi perspektif, pemahamannya, praktiknya, semuanya harus diakomodasi. Dan itu harus bersifat resiprositas”, ujar Yulia.

Meski berpegang teguh bahwa “suara-suara” para penerima kebijakan ini harus tetap diakomodasi, Yulia juga menyadari keterbatasan pada sistem yang jika sudah mencapai skala tertentu—yang lebih luas—tidak akan mungkin mengurusi segala sesuatu hal hingga detail terkecil dengan segala variasi dan kompleksitasnya. “Integrasi tertinggi berarti kita cari” adalah jawaban Yulia untuk menghadapi keterbatasan tersebut.

“Integrasi tertinggi” yang Yulia maksud adalah pendekatan trans-disiplin, sebuah strategi penelitian yang melintasi batas-batas disiplin ilmu dengan tujuan memberikan pendekatan yang lebih holistik. “Tantangannya adalah masih banyak yang menganggap integrasi ilmu tertinggi yang disebut dengan transdisciplinary itu masih ‘tidak saintifik’”, ujar Yulia.

Menurutnya, masih banyak orang yang tidak memahami atau menyadari bahwa mereka kerap membawa bias-bias dari apa yang telah mereka pelajari sebelumnya ketika ingin mempelajari hal yang baru. Hal ini membuat orang-orang tersebut tidak menyediakan ruang bagi pemikiran atau pemahaman yang baru. Sikap seperti ini yang membuat banyak orang menganggap bahwa pendekatan trans-disiplin dianggap masih “tidak saintifik”.

The highest form of learning […] is unlearning” ungkap Yulia mengutip pernyataan Jalaluddin Rumi. “Unlearning” bukan berarti mendiskreditkan berbagai pemahaman yang selama ini telah dimiliki seseorang, melainkan memberikan ruang bagi pemahaman-pemahaman baru untuk bisa masuk. Menurut Yulia, sikap ini yang perlu diambil oleh seseorang untuk dapat melakukan pendekatan trans-disipliner.

Sikap “unlearning” ini harus dibarengi oleh sebuah keterampilan yang terdengar sederhana, yaitu; “mendengarkan.” Menurut Yulia, mendengarkan sebenarnya bukanlah suatu hal yang mudah untuk dilakukan, “Mendengarkan sebenarnya lebih capek daripada ngobrol, karena kita harus betul-betul ‘unlearning’ supaya betul-betul bisa mendengarkan apa yang dikatakan oleh lawan bicara.”

Yulia melihat bahwa keterampilan “mendengarkan” adalah hal yang sebenarnya sangat esensial namun mulai tergerus dalam masyarakat “modern”, termasuk para pembuat kebijakan. Sesuatu yang Yulia temukan, jarang terjadi dalam masyarakat adat—yang biasanya menjadi penerima kebijakan. Termasuk masyarakat Hubula di Lembah Palim, Papua.

Dalam bukunya, ORANG HUBULA Makna Martabat Kolektif Suku Hubula di Lembah Palim, Papua, yang merupakan hasil dari penelitian doktoralnya selama sekitar delapan tahun, Yulia melihat keterampilan “mendengarkan” masyarakat Hubula yang membuat mereka mampu memahami relasi antara berbagai aspek kehidupan, menghasilkan suatu sistem yang lebih dinamis, holistik, adil, dan bermartabat. Pembahasannya menitikberatkan relasi yang Yulia anggap tidak terlihat dalam “masyarakat modern”, yang memiliki perspektif lebih terfokus pada objek dan hasil. Untuk mengubahnya, tentu bukan perkara mudah.

“Memang manusia modern senangnya linear, sih… dia tidak berpikir terhadap pembagian, pemerataan… akar permasalahan dunia sekarang ini juga karena pemikiran kita yang linear kan..” (AR/AM)

Artikel ini mengutip percakapan antara Yulia Sugandi dan Hilmar Farid dalam siniar JalinTalks with Hilmar Farid. Percakapan penuhnya dapat didengarkan di episode “Yulia Sugandi: Unlearning & Listening, Skill Esensial Abad 21 | JalinTalks w/ Hilmar Farid Ep #2