Lewat Djam Malam, Melintasi Zaman

Shaquille Noorman

8 April 2025

Terdapat catatan sejarah panjang yang mengantarkan geliat industri perfilman Indonesia menuju era sekarang. Jika ada figur yang tidak mungkin luput dari catatan tersebut, maka mereka adalah Usmar Ismail—seorang sutradara, produser, sekaligus penulis naskah yang merupakan figur perintis sinema modern Indonesia—dan Asrul Sani, seorang sastrawan, pegiat seni, juga seorang penulis naskah film. Di antara filmografi dan khazanah karya mereka yang luas, salah satu karya mereka yang paling berpengaruh ialah Lewat Djam Malam (1954). 

Berlatarkan Kota Bandung pasca Revolusi Nasional Indonesia, cerita Lewat Djam Malam berpusar pada seorang mantan mahasiswa teknik yang kemudian menjadi letnan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, Iskandar (diperankan oleh A.N. Alcaff). Ia mencoba kembali hidup di antara masyarakat sipil setelah lima tahun berjuang sebagai tentara revolusioner. Dihantui kepingan-kepingan ingatan dari medan perang, cerita yang ditulis dengan piawai oleh Asrul Sani ini menyibak kemelut mental sang pemeran utama—menempatkan relung jiwa individu sebagai pusat tensi dan konflik dalam cerita; psikoanalitik dan eksistensial.

Lewat Djam Malam membawa penonton ke dalam tarik ulur antara hasrat Iskandar untuk bisa hidup damai—berbaur dengan masyarakat, beternak ayam dan sapi, menua bersama kekasihnya, Norma (diperankan oleh Netty Herawaty)—dan trauma masa lalu yang mengusiknya. Walaupun mantan mahasiswa, lima tahun peperangan mengubahnya menjadi seorang yang kesulitan memproses apa yang ia rasakan secara rasional. Segala penalaran yang ia coba lakukan untuk menjawab permasalahan yang dihadapinya, selalu berujung pada kepal tinju dan senjata. Barangkali, hanya itu yang tersisa di pikirannya; Iskandar telah menjadi palu yang melihat semua hal menjadi paku.

Di luar diri Iskandar, Ayah Norma (diperankan oleh Abdul Hadi) dan kakak Norma, Adli (diperankan oleh Aedy Moward), termasuk juga Norma, masing-masing memiliki kehendaknya sendiri terkait bagaimana Iskandar harus beradaptasi di masyarakat. Ayah Norma ingin Iskandar langsung bekerja, Adli mengusulkan Iskandar untuk kembali berkuliah, sementara Norma lebih ingin Iskandar bebas menentukan pilihan sendiri. Pada teman-temannya, Norma selalu menggambarkan seorang Iskandar sebagai pahlawan yang berjuang untuk kemaslahatan seluruh masyarakat. Namun, Norma juga tidak bisa sepenuhnya mengerti lanskap mental yang dialami Iskandar saat itu. Sehingga, walaupun mereka adalah sepasang kekasih, tidak banyak waktu yang mereka habiskan berdua; sedikit sekali keintiman yang terpercik di antara mereka.

Yang juga menjadi penting selain dari pergumulan pribadi sang protagonis utama adalah bagaimana Usmar Ismail menempatkan karakter Iskandar dengan lingkungan sekitarnya. Seorang mantan kombatan di tengah masyarakat yang tengah berbenah dan mulai membangun kehidupan sehari-harinya pasca kolonialisme dan perang revolusi. Lewat Djam Malam menghadirkan sebuah kapsul waktu atau mediated reality yang menjadi potret kehidupan masyarakat urban Indonesia pada era itu.

Sepanjang bergulirnya cerita, Lewat Djam Malam banyak menampilkan jukstaposisi. Iskandar ditampilkan teralienasi dari lingkungan dan orang-orang di sekitarnya; luntang-lantung di tengah kesibukan kota, termenung dan kikuk di tengah pesta, selalu berjarak dalam setiap interaksinya. Iskandar banyak berjalan di bayang-bayang dan kegelapan, di tengah kerumunan pasar malam, sementara itu, Norma dengan teman-temannya berada di sisi lain, mereka mewakili kalangan borjuis baru di Indonesia. Seperti sebuah kontras yang sengaja disandingkan, Norma dan kawan-kawannya tampil modis, bercengkrama di kafe, mengadakan pesta dengan dekor dan lagu yang ceria. Ketika Iskandar bersama mereka semua, tidak ada barang satu detik pun raut mukanya tersenyum, raut wajahnya selalu menerawang ke dalam dirinya sendiri.

Iskandar kembali ke realita yang tidak lagi ia kenali. Melalui kenalan “orang dalam” Ayah Norma, Iskandar mendapatkan pekerjaan pertamanya di kantor gubernur sehari pasca kepulangannya ke Bandung, tapi di hari pertama ia justru terlibat pada perkelahian dan dipecat. Mantan rekan sepasukannya, Gafar (diperankan oleh Awaludin), menjadi seorang kontraktor sukses. Gafar selalu berpesan untuk Iskandar supaya lupakan masa lalu dan fokus pada masa depan, “Siapa yang tidak kuat melawan kelampauan akan hancur”, ucap Gafar pada Iskandar yang masih didera dilema moral pada segala kekerasan yang ia lakukan semasa perang. Sementara itu, mantan rekan sepasukannya yang lain, Puja (diperankan oleh Bambang Hermanto), yang kebetulan Iskandar temui pada sebuah jalan di Bandung, kini menjadi centeng dan mucikari yang menghabiskan kesehariannya bermain biliar dan membeli tiket lotre. 

Iskandar yang baru saja sehari pulang masih bisa berangan-angan, sementara Puja yang sudah berkenalan lebih dulu dengan realita, menjadi pahit dan getir, “Orang seperti kita ini sekarang dianggap sampah saja! Habis manis, sepah dibuang. Sekarang kerjaku saban hari main biliar, dan kalau sudah kelewat bosan, aku beli lotre, berhari-hari aku bisa ingat itu saja, Pak. Baru satu bulan, sebulan lagi, barangkali, aku sudah jadi gila!”

Dalam penulisan karakter-karakternya, Asrul Sani di Lewat Djam Malam jelas menghindari heroisme buta yang menggambarkan kepahlawanan secara satu dimensi. Indonesia sebagai modern nation state yang saat film tersebut dibuat belum satu dekade merdeka, mungkin saja masih diselimuti romantisme era perjuangan setelah berhasil mengusir Jepang dan mempertahankan status negara merdeka melalui Perang Revolusi, namun alih-alih menelan sentimen tersebut bulat-bulat, Lewat Djam Malam justru menawarkan lensa yang lebih kritis dan menelisik. Berbeda dari tema film perjuangan pada umumnya yang berkisah tentang pertentangan golongan pribumi dan kekuatan kolonial, di mana seluruh pejuang digambarkan sebagai pihak mulia dan seluruh musuh digambarkan sebagai sosok bengis, fokus cerita pada kondisi psikis Iskandar yang didera post-traumatic stress disorder (PTSD) mengungkap sisi lain dari peperangan dan kepahlawanan. Ada ambiguitas moral yang memberikan ruang lebih pada daya kritis para penonton untuk bisa memberikan penilaian.

Asrul Sani menggambarkan bahwa tidak semua yang berjuang, atau melabeli diri mereka sebagai pejuang, sebagai pihak yang sudah pasti baik. Pesan ini diilustrasikan melalui tokoh Gunawan (diperankan oleh Rd Ismail), mantan pemimpin pasukan Iskandar semasa perang. “Perjuangan di lapangan ekonomi lebih hebat lagi dari bertempur dengan senapan dan bayonet. Apa guna merdeka selagi periuk nasi kita masih tergantung pada belas kasihan orang asing? Kita mesti merdeka juga di lapangan ekonomi!” tutur Gunawan yang kini memimpin sebuah perusahaan yang bergerak untuk melakukan nasionalisasi ekonomi.

Namun, di balik jargon jingoisme Gunawan yang berapi-api dan pseudo-patriotik, Iskandar mengendus pengkhianatan dan kemunafikan. Iskandar menatap sinis cincin berlian yang bertengger di jemari Gunawan. Sementara itu, Gunawan menawarkan Iskandar sebuah pekerjaan, yaitu sebagai “otot” untuk mengancam dan menghabisi pesaing bisnisnya dengan sogokan sejumlah uang, yang mana Iskandar tolak dengan geram, “Jadi selama ini, aku berjuang untuk orang seperti kau?” ucap Iskandar yang lekas dibalas Gunawan, “Jika ingin hidup jujur, kembali saja kamu ke hutan atau gunung!” Film ini memperlihatkan bagaimana para angkatan bersenjata bisa mendapatkan berbagai privilese untuk menempati posisi-posisi strategis; memasuki ranah sipil dengan karpet merah, bertengger bersama dengan kelas borjuis baru, memanfaatkan otot dan senjata untuk bisa melibas para pesaing—dari level atas, sebagai direktur dan pekerja kerah putih, hingga di level bawah, sebagai centeng di jalanan dan rumah bordil.

Lewat Djam Malam memberi kita peringatan bahwa akan selalu ada pihak yang berlindung di balik kegagahan pangkat, senjata, dan retorika heroik untuk bisa menindas dan meraup keuntungan untuk dirinya sendiri. Kekuatan yang dengan cerdik dan licik menggerakkan pion-pionnya untuk mencapai apa yang mereka mau. Sang pion-pion hanya tahu bahwa mereka berjuang dan mengorbankan hidupnya untuk tanah air, namun di balik itu, darah yang tertumpah hanya menyuburkan harta segelintir orang saja.

Tema dan konflik yang dibawa Lewat Djam Malam spesifik sekaligus tak lekang waktu. Ia memperkenalkan kita pada berbagai karakter dengan hasrat dan watak yang dapat kita kenali di hari ini; merefleksikan bagaimana pesatnya perubahan zaman tidak sekaligus merubah laku lampah manusia, namun justru manusia dari masa ke masa saling terhubung melalui berbagai permasalahan yang berulang.

Bentangan seluloid Lewat Djam Malam diboyong dari Sinematek Indonesia (pusat arsip film nasional) untuk direstorasi pada tahun 2012 di laboratorium Cinetica di Bologna/L’Immagine Ritrovata, Italia. Upaya restorasi ini diprakarsai oleh National Museum of Singapore dan World Cinema Foundation yang berasosiasi dengan Konfiden Foundation, Kineforum Dewan Kesenian Jakarta, dan keluarga Usmar Ismail Estate. Restorasi tersebut jelas memperpanjang napas dari karya ini, hingga pada tahun 2020, Lewat Djam Malam masuk ke dalam kurasi Martin Scorsese berjudul World Cinema Project untuk Criterion. Figur Usmar Ismail dan Asrul Sani bukan hanya perlu kita rayakan dan nikmati karya-karyanya, namun juga terus kita lestarikan dan pelajari supaya khazanah perfilman Indonesia semakin kaya dengan karya-karya berkualitas yang berarti untuk masyarakat Indonesia, maupun dunia.

Related Articles